Kisah Guru Mengajar di Daerah Terisolir

Kisah Guru Mengajar di Daerah Terisolir

Reviens.id, Palangka Raya - Muhammad Sajidin menarik nafas melihat pertemuan arus deras di Sungai Kayahan. Sebab, perahunya pernah terbalik menghantam gelombang tersebut, ketika perjalanan menuju sekolah. 

Tidak pernah terbesit dalam pikiranya untuk menjadi pengajar di daerah terisolir di Kelurahan Kameloh Baru, Kecamatan Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Namun, baginya hal itu sebagai ibadah yang harus dilakoninya.   

Muhammad Sajidin untuk ditugaskan menjadi guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Kameloh Baru sejak tahun 1999. Saat itu hanya terdapat tiga pengajar termasuk dirinya, dengan bergantian mereka mengajarkan baca, tulis dan hitung kepada para siswa. 

"Sangat miris pokoknya, pertama saya masuk sini. Harus berjuang bener-bener,maslahnya gurunya cuman ada tiga orang," ungkap Muhammad, Kamis (24/11/2022). 

Untuk sampai ke sekolah saja, Muhammad Sajidin harus melewati sungai melalui Dermaga Kereng Bengkel. Perjalanan menelan waktu sekitar 90 menit dengan pemandangan indah khas Sungai Kahayan. 

Sementara jalur darat hanya bisa dilalui saat musim kemarau. Ia harus menyusuri jalur setapak yang belumpur di hutan rawa, dan harus berhadapan dengan reptil berbahaya seperti ular. 

"Di sini kalau hujan kebanjiran dan arusnya deras. Sedangkan kalau musim kemarau, aksesnya lebih sulit karena harus masuk hutan dan itu hanya bisa ditempuh berjalan kaki," tambahnya.

Beruntungnya, lima tahun kemudian dibuat kanal irigasi. Sehingga mempersingkat waktu tempuh menggunakan perahu menjadi 20 menit dari Dermaga Simpang, Jalan Trans Kalimantan.

Dengan modal nekat menggunakan perahu warisan kepala sekolah yang telah pensiun, ia tak pernah tahu cara menahkodahi sebelumnya. Namun kerja kerasnya membuahkan hasil, hingga Muhammad Sajidin mulai akrab dengan mode transportasi ini.

Pasalnya, perahu menjadi transaportasi utama bagi masyarakat Kameloh baru. Sebab kawasan yang berada di tepian Sungai Kahayan tersebut kerap kali terendam oleh banjir, begitu pula dengan sekolah. 

Maka kerap kali warga menyebut dengan SDN 1 Kameloh baru dengan julukan sekolah terapung  satu atap. Karena dalam satu lingkungan sekolah tersebut juga terdapat SMP dan SMA.

"Ya benilah kondisnya sekolah kami, bahkan pengawas dari provinsi saja ke sini pernah tercebur di halaman sekolah," tambahnya.
 
Muhammad Sajidin juga menganggap sekolah merupakan rumah kedua baginya. Di ruang kelas itulah hidupnya setiap hari habiskan bersama murid dan rekan guru lainnya. Hingga ia dipercaya untuk melanjutkan estafet kepimpinan menjadi kepala sekolah.     

Tak terasa lebih dari 23 tahun lelaki asal Kediri, Jawa Timur tersebut berjuang 
mengajar di wilayah tersebut. Perahu, sungai dan hutan menjadi saksi perjuangan Muhammad Sajidin, bahwa benar guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
  
"Sekitar lima tahun lagi saya pensiun, semoga hal yang baik ini tetap terus 
diperjuangkan," pungkasnya.