DEMAK! | Episode 1
Sumber Foto: sejarahone.id
“Bekasi, aku pamit!”
Tiga kata yang terlontar dari bibir gadis pemilik mata sayu itu. Tangannya menempel di kaca bus Nusantara sembari menatap luar kendaraan. Terlihat di balik kaca yang mengembun ada sepasang mata yang mengembun pula. Dia lah pemuda tampan namun tidak dengan mentalnya. Hal itu terbukti ketika sang gadis melambaikan tangan dan terlihat jelas bibir mungilya itu bergetar. Menahan tangis yang tetap saja tidak bisa di tahan.
Hati mereka tentunya bergemuruh hebat saat pak supir mulai menyalakan bus nya. Terlebih bagi gadis yang biasa di panggil Thuri itu. Air matanya merembas begitu saja. Di sebelahnya ada lelaki muda memberikan sehelai sapu tangan. Namun ia hiraukan. Matanya masih menatap pemuda berjaket biru muda. Sebenarnya di balik jendela ada dua pasang mata lelaki yang sangat berbeda pandangannya. Satu di antaranya, acuh dan memberikan senyuman sinis. Satu lagi dia-lah pemuda yang sangat ia cintai.
Tatapan kedua anak manusia itu bertemu di rasa yang membuat banyak mata bertanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Jika pun mereka memberikan pertanyaan pada waktu itu, jelas keduanya tidak mungkin sanggup menjawab tentang akhir dari kisah yang terjalin selama sembilan tahun lamanya.
Seperti ada bisikan halus dari mantan kekasihnya untuk memberikan ucapan terakhir sebelum mereka benar-benar berpisah. Ya, untuk kali ini perpisahan mereka bukan karena perbedaan iman yang selama ini menjadi topic terhangat setiap obrolan mereka. Thuriakan meninggalkan Bekasi demi sebuah kata bakti. Berat! Sudah pasti. Tapi, apalah kata jika perjuangan mereka memang pada akhirnya tidak mungkin berakhir.
Thuri memalingkan wajah dari kaca, mematikan rasa yang seharusnya dimatikan jauh-jauh hari sebelum kejadian ini terjadi. Meski tidak sanggup, sugesti positifnya mengatakan ia sanggup. Dan, logikanya juga ikut mengiyakan permintaan sugesti itu. Ya, belum sepenuhnya air matanya berhenti.
“Lima menit saja, Pak! Boleh?” terdengar suara seseorang tengah memelas kepada kondektur.
Awalnya memang gadis dengan jilbab hitam itu berniat mengabaikan tentang apa yang terjadi di dalam bus. Setelah mendengar suara itu, matanya membuka sekilat mungkin.
“Senan! Untuk apa kamu ke sini?”
Mata mereka kembali bertemu dalam satu tatapan pilu. Senan diam tak bersuara, hanya kedua matanya telah mewakili betapa hancurnya sore itu. Di saksikan banyak mata yang melihat adegan mereka sedramatis akhir dari kisah Dilan dan Milea. Thuri sulit mengendalikan perasaannya ketika kedua mata Senan menatapnya penuh harapan. Pemuda itu masih berharap ini bukan kali terakhir mereka bertemu. Berharap gadis berjilbab hitam dengan mata pandanya akan kembali lagi ke Bekasi, sebulan atau beberapa bulan kemudian.
“Berjanjilah kalau ini bukan terakhir kali kita bertemu? Kamu pasti akan kembali ke Bekasi lagi’kan, Thur. Kau tau aku sangat mencintaimu. Aku tidak tau lagi apakah aku sanggup jalani hidup tanpamu. Demi Tuhan, jangan pergi!”
Jelas Senan panjang lebar yang membuat para penumpang lainnya menggigit bibir mereka masing-masing.
“Tidak bisa, Sen. Waktu yang kuberikan untukmu sudah lebih dari cukup. Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk memantapkan hatimu memilih cinta atau keyakinan. Dan, kau sudah memilih hidup bersama keyakinanmu. Terus, apa salahku? Apa aku salah menuruti permintaan orangtuaku untuk kembali ke kampung halaman memulai kehidupan baru bersama siapapun nanti orangnya. Tolong, jangan halangi langkahku untuk pergi.”
Semua mata terkejut mendengar penjelasan dari gadis itu. Cinta atau keyakinan? Ya, satu dari sekian banyaknya penumpang telah menangkap bahwa mereka memang berbeda keyakinan. Kisah cinta yang berakhir tragis meski selama sembilan tahun berjalan romantis. Batin yang mengetahui tentang kisah mereka.
“Aku pamit, maaf!”
Lagi-lagi ucapan Thuri sangat menyayat hati Senan yang terpaksa bungkam setelah gadis di depannya itu angkat bicara.
“Baik-baik di sana ya! jaga diri, jaga ibadahmu. Demi Tuhan, kamu wanita yang baik. Maafkan aku jika aku lebih memilih hidup bersama keyakinanku. Bukan berarti..”
“Ssstttttt! Jangan dilanjutkan. Terimakasih, selama ini kamu berhasil menjagaku dengan sebaik dan sebenar-benarnya penjagaan.” Potong Thuri kemudian kondektur bus menyuruh Senandika menyudahi perbincangannya dengan wanita yang akan menjadi masalalunya itu.
“Hati-hati ya!” pemuda itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman penuh haru yang disaksikan banyak orang.
Beberapa penumpang ada yang menangis sedih melihat kisah cinta dua anak manusia berakhir karena perbedaan. Meski Thuri memberikan pernyataan jika berakhirnya hubungan mereka karena kepulangannya di kampung halaman. Namun alasan utamanya karena di Bekasi sudah tidak ada lagi yang harus diperjuangkan.
Senan membalikkan badan menuju pintu keluar bus. Dan, disitulah hati Thuri benar-benar merasakan kehancuran. Mengakhiri kisah cinta yang berawal di dalam busway sembilan tahun lalu. Mengakhiri kisah cinta yang selama ini terjalin dengan baik. Benar yang dikatakan Dosennya dulu. Zanuba Asfaraya Muchlis. Bahwa paling sulit itu memperjuangkan kisah cinta beda agama.
“Jarak yang paling jauh yaitu kepercayaan. Dan, perbedaan yang tidak ada solusinya adalah keimanan.” Ucap Dosen yang memiliki kisah hidup menyerupai dirinya.
Ya, setidaknya lebih beruntung Dosennya itu yang pada akhirnya kekasihnya memutuskan berpindah keyakinan, berbeda dengan dirinya yang akhir kisah cintanya harus berpisah.Batin Thuri bergemuruh dengan kenyataan pahit yang ia alami.
Tidak hanya tentang cinta dan Senandika Irwandy. Pekerjaannya, karirnya, sahabat-sahabatnya dan juga kegiatannya selama menjadi anak rantau di Bekasi. Semua akan berakhir di sore ini di bus Nusantara yang akan segera berjalan menuju kotanya.
Ia berbisik dalam hati,
“Sen, bukan kamu yang takut apakah bisa menjalani hidup tanpaku atau tidak? Tapi aku, Sen. Aku takut jika aku tidak mampu melewati fase ini. Hidupku seakan berhenti di sore ini bersamamu. Jika kamu sakit melepas aku, bagaimana dengan hatiku yang melepas banyak hal selain kamu. Cinta dan kehidupanku telah selesai, Sen. Aku akan kembali memulai kehidupan bersama orang dan lingkungan baruku. Menurutmu itu mudah? Tidak.
“Bekasi, aku pamit. Ku tinggalkan semua meski dengan hati yang sakit. serta jiwa yang sempit. Terimakasih, dedikasi waktumu yang mengajarkan banyak hal tentangku. Tentang pencapaian yang tak terduga. Tentang pekerjaan yang sudah mendarah daging menjadi nyawa. Tentang sahabat-sahabat yang tak mengenal perbedaan kasta. Dan, tentang cintaku yang sulit ku ceritakan pada banyak orang. Bekasi, aku titip jiwaku di antara mereka-mereka yang kukenal baik. Aku titip cintaku padamu. Bekasi, aku pamit!”
Bus mulai meninggalkan kisah mereka perlahan. Thuri yang duduk sebelah jendela masih menyaksikan wajah Senan meski makin lama makin menghilang. Tepat pukul 17.15 bus Nusantara telah resmi berjalan tanpa meninggalkan harapan bagi Senan. Begitu juga dengan kisah mereka. Ya, Thuri resmi meninggalkan Senan di agen bus bawah jembatan gantung, Cikarang Jawa Barat.
Pada akhirnya semua akan kembali dari mana kita berasal tanpa perlu memberikan alasan kenapa kita kembali. Karena tidak semua alasan bisa sampai ke perasaan, itu sebabnya urusan hati bak relawan yang tak berharap sebuah balasan. Pergi, bukan karena rindu yang tak sempat mengenal temu, ataupun cemburu yang akan menyapa pilu. Pergi adalah awal kita berteman dengan sendu.
“Masih betah menangis, Mbak?” pertanyaan yang dirasa tidak penting bagi seorang Misykat Thurissainaatau lebih akrab di panggil Thuri.
“Dasar lelaki tidak memiliki hati nurani.” Protesnya dalam hati.
Lelaki di sebelahnya itu seakan memahami apa yang dikatakan Thuri dalam hati. Apalagi melihat wajah gadis itu sinis dan melemparkan tatapan tajam kepadanya.
“Pasti kamu kesel ya dengan pertanyaanku? Kalo iya, itu bagus. Berarti kamu masih waras. Belum sakit jiwa karena cinta.”
Rasanya ingin melempar sandal ke muka lelaki muda dengan wajah super tengil yang duduk di sebelahnya itu. Jika tidak dalam keadaan patah hati sudah diladenin ocehan tak bermoral dari lelaki menyebalkan serta rambut yang acak-acakan pula.
“Kamu itu sebenarnya cantik jika tidak menangis seperti ini!” sambungnya dengan menatap wajah Thuri.
Untuk kali ini ia tidak diam saja. Memegang tangan pemuda itu, sembari mengepalkan tangan Thuri angkat suara yang membuat seisi bus keheranan.
“Bisa diam atau?” ucapnya dengan mata penuh kebencian.
Lalu setelah itu,
Comments (0)